Pikiranku melayang ke sekitar tahun 2005, mungkin di bulan September atau Nopember, ah... betapa cepat lupanya aku.
Saat itu adalah hari Rabu, dan seperti biasanya, pada hari Rabu malam diadakan Doa Pengerja di Menara Gracia. Aku memang aktivis di gereja tempat aku dan keluargaku beribadah. Aku terlibat di pelayanan Multimedia.
Segera aku kemasi laptopku di atas meja. Aku gulung kabel power, kabel data, dan segala perlengkapan komputer. Semua kumasukkan ke dalam tas ranselku, yang memang didesain untuk penyimpanan laptop.
Setengah berlari, aku menuju ke lift. Terasa sekali nafasku sangat berat. Langkahku pun sangat berat, dengan menyandang tas ransel berisi laptop dan segala perlengkapannya. Capek yang luar biasa sangat aku rasakan. Padahal, aku hanya berlari kecil.
Sebenarnya hari itu aku merasa kurang fit. Tidak hanya hari itu, tapi hari – hari sebelumnya sangat aku rasakan, seperti tubuh ini kurang energi. Berjalan atau naik tangga saja, sudah cukup melelahkan sekali. Nafasku tersengal-sengal dan berat. Aku menyalahkan diri sendiri, kenapa tidak memiliki waktu yang cukup untuk berolah-raga. Padahal aku sebenarnya senang berolah-raga. Badanku, pada waktu usia menjelang 20, dan pada umur 20-an bisa dibilang cukup atletis. Pada masa SMA dulu, sempat menjuarai Taekwondo di lingkungan sekolah.
Setelah sampai di parkiran motor, aku mencari motorku. Dan segera ku bawa ke arah Kuningan tempat Menara Gracia berada. Sore menjelang malam tersebut, seperti hari-hari kerja lainnya, jalanan cukup padat. Tanpa kesulitan, aku jalan di antara mobil-mobil tersebut. Secara fisik, rasa lelah ini sangat mempengaruhi konsentrasiku mengendara. Ingin rasanya aku berhenti sebentar di trotoar jalan, dan merebahkan badan barang sejenak untuk menghilangkan kantuk.
Perjalanan masih panjang, dan malam hari telah menyambang. Semua kendaraan telah menyalakan lampu malam. Di pertengahan jalan menuju Kuningan, aku benar-benar ingin tidur. Sedetik dua detik, mataku tertutup. Padahal motor masih melaju. Aku mengandalkan instingku dengan mengikuti kendaraan di depan melalui lampu malam. Kejadian tersebut berulang kali terjadi. Untuk menghindari kantuk, aku buka kaca helm. Terpaan angin yang keras bercampur debu, tidak juga membuat ku terjaga. Ingin rasanya aku pulang. Tapi aku telah membulatkan tekadku untuk tetap hadir di Rumah Doa. Secara akal, aku benar-benar mengandalkan instingku dalam berjalan.
Tetapi kini, setelah beberapa tahun berlalu, dan kembali kurenungkan apa yang telah aku alami, aku sungguh-sungguh sangat percaya bahwa Tuhan Yesus telah mengirimkan malaikat penjagaNya untuk mengawal perjalananku.
Akhirnya, aku tiba di Menara Gracia sekitar jam setengah delapan malam. Sudah banyak pengerja hadir di sana.
Kalau bukan karena Kasih Tuhan, mana bisa aku bisa selamat sampai di Gracia!